PENERIMAAN TARUNA AKMIL TA 2013
Bagi calon kelas III SMA/MA:
5. TEMPAT PENDAFTARAN :
Sumber: http://www.akmil.ac.id/index.php?option=com_content&view=section&id=16&Itemid=76 | |
wiranti erly
"Lakukan yang terbaik untuk meraih hasil terbaik yang kalian harapkan, jangan menggantungkan nasib kepada orang lain sebab kalian yang mampu menentukan jalan hidup kalian sendiri, bukan orang lain" Aspers Kasdam Jaya
Selasa, 22 Januari 2013
AKADEMI MILITER MAGELANG
Sabtu, 19 Januari 2013
SEJARAH AKADEMI MILITER
Sejarah Akademi Militer (Akmil) bermula dari didirikannya Militaire Academie (MA) Yogyakarta pada tanggal 31 Oktober 1945, atas perintah Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat, Letnan Jenderal TNI Oerip Soemohardjo. Pada tahun 1950, MA Yogyakarta setelah meluluskan dua angkatan, karena alasan tehnis, ditutup untuk sementara dan taruna angkatan ketiga menyelesaikan pendidikannya di KMA Breda, Nederland. Pada kurun waktu yang sama diberbagai tempat lain (Malang, Mojoangung, Salatiga, Tangerang, Palembang, Bukit Tinggi, Brastagi, Prapat) didirikan Sekolah Perwira Darurat untuk memenuhi kebutuhan TNI AD / ABRI pada waktu itu.
Pada tanggal 1 Januari 1951 di Bandung didirikan SPGi AD (Sekolah Perwira Genie Angkatan Darat), dan pada tanggal 23 September 1956 berubah menjadi ATEKAD (Akademi Teknik Angkatan Darat). Sementara itu pula pada tanggal 13 Januari 1951 didirikan pula P3AD (Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat) di Bandung. Mengingat pada saat itu banyak sekolah perwira TNI AD, maka muncul gagasan dari pimpinan TNI AD untuk mendirikan suatu Akademi Militer, gagasan ini pertama kali dimunculkan pada sidang parlemen oleh Menteri Pertahanan pada tahun 1952. Setelah melalui berbagai proses, maka pada tanggal 11 Nopember 1957 pukul 11.00 Presiden RI Ir Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, meresmikan pembukaan kembali Akademi Militer Nasional yang berkedudukan di Magelang. Akademi Militer ini merupakan kelanjutan dari MA Yogyakarta dan taruna masukan tahun 1957 ini dinyatakan sebagai Taruna AMN angkatan ke-4.
Pada tahun 1961 Akademi Militer Nasional Magelang di integrasikan dengan ATEKAD Bandung dengan nama Akademi Militer Nasional dan berkedudukan di Magelang. Mengingat pada saat itu masing-masing angkatan (AD, AL, AU dan Polri) memiliki Akademi, maka pada tanggal 16 Desember 1965 seluruh Akademi Angkatan (AMN, AAL, AAU dan AAK) diintegrasikan menjadi Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Sesuai dengan tuntutan tugas, maka pada tanggal 29 Januari 1967 Akabri di Magelang diresmikan menjadi Akabri Udarat, yang meliputi dua Akabri bagian di bawah satu pimpinan, yaitu Akabri Bagian Umum dan Akabri bagian Darat. Akabri Bagian Umum mendidik taruna TK-I selama satu tahun, termasuk Pendidikan Dasar Keprajuritan Chandradimuka, sedangkan Akabri bagian Darat mendidik taruna Akabri Bagian Darat mulai TK-II sampai dengan TK-IV. Pada tanggal 29 September 1979 Akabri Udarat berubah namanya menjadi Akabri Bagian Darat.
Dalam rangka reorganisasi di lingkungan ABRI, maka pada tanggal 14 Juni 1984 Akabri Bagian Darat berubah namanya menjadi Akmil (Akademi Militer). Pada tanggal 1 April 1999 secara resmi Polri terpisah dari tiga angkatan lainnya, dan ABRI berubah menjadi TNI. Sejak itu pula Akademi Kepolisian terpisah dari AKABRI. Kemudian AKABRI berubah namanya menjadi Akademi TNI yang terdiri dari AKMIL, AAL, AAU.
Berdasarkan Perpang Nomor :Perpang/ 28/ V/ 2008 tanggal 12 Mei 2008 Pendidikan Dasar Keprajuritan Chandradimuka dan Integratif Akademi TNI pola 12 bulan langsung dibawah Mako Akademi TNI. Kemudian AKMIL menyelenggarakan pendidikan khusus Taruna Angkatan Darat tingkat II, III dan IV.
Pada tanggal 1 Januari 1951 di Bandung didirikan SPGi AD (Sekolah Perwira Genie Angkatan Darat), dan pada tanggal 23 September 1956 berubah menjadi ATEKAD (Akademi Teknik Angkatan Darat). Sementara itu pula pada tanggal 13 Januari 1951 didirikan pula P3AD (Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat) di Bandung. Mengingat pada saat itu banyak sekolah perwira TNI AD, maka muncul gagasan dari pimpinan TNI AD untuk mendirikan suatu Akademi Militer, gagasan ini pertama kali dimunculkan pada sidang parlemen oleh Menteri Pertahanan pada tahun 1952. Setelah melalui berbagai proses, maka pada tanggal 11 Nopember 1957 pukul 11.00 Presiden RI Ir Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI, meresmikan pembukaan kembali Akademi Militer Nasional yang berkedudukan di Magelang. Akademi Militer ini merupakan kelanjutan dari MA Yogyakarta dan taruna masukan tahun 1957 ini dinyatakan sebagai Taruna AMN angkatan ke-4.
Pada tahun 1961 Akademi Militer Nasional Magelang di integrasikan dengan ATEKAD Bandung dengan nama Akademi Militer Nasional dan berkedudukan di Magelang. Mengingat pada saat itu masing-masing angkatan (AD, AL, AU dan Polri) memiliki Akademi, maka pada tanggal 16 Desember 1965 seluruh Akademi Angkatan (AMN, AAL, AAU dan AAK) diintegrasikan menjadi Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Sesuai dengan tuntutan tugas, maka pada tanggal 29 Januari 1967 Akabri di Magelang diresmikan menjadi Akabri Udarat, yang meliputi dua Akabri bagian di bawah satu pimpinan, yaitu Akabri Bagian Umum dan Akabri bagian Darat. Akabri Bagian Umum mendidik taruna TK-I selama satu tahun, termasuk Pendidikan Dasar Keprajuritan Chandradimuka, sedangkan Akabri bagian Darat mendidik taruna Akabri Bagian Darat mulai TK-II sampai dengan TK-IV. Pada tanggal 29 September 1979 Akabri Udarat berubah namanya menjadi Akabri Bagian Darat.
Dalam rangka reorganisasi di lingkungan ABRI, maka pada tanggal 14 Juni 1984 Akabri Bagian Darat berubah namanya menjadi Akmil (Akademi Militer). Pada tanggal 1 April 1999 secara resmi Polri terpisah dari tiga angkatan lainnya, dan ABRI berubah menjadi TNI. Sejak itu pula Akademi Kepolisian terpisah dari AKABRI. Kemudian AKABRI berubah namanya menjadi Akademi TNI yang terdiri dari AKMIL, AAL, AAU.
Berdasarkan Perpang Nomor :Perpang/ 28/ V/ 2008 tanggal 12 Mei 2008 Pendidikan Dasar Keprajuritan Chandradimuka dan Integratif Akademi TNI pola 12 bulan langsung dibawah Mako Akademi TNI. Kemudian AKMIL menyelenggarakan pendidikan khusus Taruna Angkatan Darat tingkat II, III dan IV.
LAMBANG AKADEMI MILITER
ARTI DAN MAKNA
A. Lukisan
B. Tata Warna
|
Rabu, 09 Januari 2013
Keragaman Budaya Sebagai Pemersatu Bangsa
Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang menjadi identitas dari bangsa Indonesia, sehingga diperlukan pemahaman atas Wawasan Nusantara sebagai nilai dasar Ketahanan Nasional serta sebagai pemersatu keragaman budaya bangsa.
Belakangan ini banyak kita menyaksikan bahwa budaya-budaya bangsa Indonesia diklaim sebagai budaya bangsa lain, misalnya Reog Ponorogo, Tari Pendet, Keris, Batik, serta lagu-lagu daerah yang ditiru. Entah karena masih memiliki sikap Nasionalisme, atau sekedar ikut-ikutan tersulut suasana, segenap bangsa Indonesia ramai-ramai mengutuk negara tersebut sebagai pencuri budaya bangsa lain. Apakah warga negara Indonesia hanya bersatu bila dijajah negara lain atau bila budaya bangsa dicuri bangsa lain saja? lalu dimana peranan warga negara dalam upaya melestarikan budaya bangsa?
Ketika kita mengunjungi daerah-daerah wisata, banyak keindahan-keindahan alam dan budaya yang bisa kita nikmati sebagai rahmat dan anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Namun momen indah tersebut malah kita lewatkan dengan menyibukkan diri berfoto ria kesana-kemari. Sudah seharusnya kita mempelajari dan melestarikan budaya-budaya yang ada agar generasi penerus masih bisa menikmatinya, serta mengembangkan nilai-nilai budaya daerah yang membangun kebanggaan masyarakat terhadap daerah, sekaligus bangsa Indonesia.
Sering kita mendengar terjadi kerusuhan-kerusuhan antar etnis di Indonesia yang mengatasnamakan suku maupun agama, misalnya yang terjadi di Sampit dan Poso. Bahkan, terkadang pemicu kerusuhan itu hanya masalah-masalah sepele yang tidak semestinya mengikutsertakan golongan-golongan tertentu. Sebagai bangsa yang menjadikan persatuan dan kesatuan sebagai dasar negara, sudah seharusnya kita mencegah perlakuan diskriminasi guna menghindari sikap sukuisme dan fanatisme kedaerahan yang sempit yang membelenggu kebebasan individu dalam mengembangkan kualitasnya sebagai bangsa yang majemuk. oleh karena itu, diperlukan kesadaran masyarakat dalam menerima keanekaragaman yang ada, serta saling menghormati dan menghargai perbedaan itu sebagai karunia Sang Pencipta, serta peranan lembaga adat dan para pemuka agama dalam mewujudkan suasana aman dan kondusif guna menjalin kerukunan bangsa dan negara.
Sebagai tujuan kita mempelajari Wawasan Nusantara yaitu untuk memantapkan sikap Nasionalisme yang tinggi dan tekad mengutamakan kepentingan nasional diatas kepentingan pribadi dan golongan untuk mencapai tujuan nasional dengan diiringi rasa senasib seperjuangan sebagai bangsa yang bertanah air satu, bangsa Indonesia.
Fenomena Kesenian Tradisional yang Terpinggirkan
Bicara soal kesenian
tradisi yang lebih populis namun tetap dianggap kurang populis dibandingkan
dengan dunia seni lainnya yang lebih terkonsumtif di kalangan pelajar,
mahasiswa, pejabat, tokoh-tokoh sentral kehidupannya seperti Jarang Kepang,
Kubro, Wulan Sunu, Gatoloco, Topengan, Kethoprak, Ndolalak, Reog, Warokan, dan
segudang jenis lainnya menjadikan lambat laun kesenian ini tergeser dan hanya
mampu bergerak di tingkatan komunitas micro pedesaan.
Inipun masih mending
ketika masih bisa tersikapi dan disikapi, namun realitasnya di tataran tingkat
komunitas pedesaan saja kesenian tradisional masih sering dipandang sebagai
bentuk hiburan yang konservatif dan tak layak tayang. Mengapa?
Apa yang saya katakan
ini bukan semata tidak beralasan. Lihat saja di kanan kiri kita manakala ada
orang punya hajat mantenan, supitan, ponggahan, peringatan tujuh belasan, dll -
lebih praktis yang ditampilkan adalah hiburan organ tunggal yang sekali pancal
bisa memainkan apa saja. Meh campursarinan, dangdutan, ngepop, ngerock, bahkan
tidak mustahil nanti jathilan nggak perlu pakai sperangkat musik gamelan.
Alasan mereka sederhana saja, sekedar untuk effisien anggaran dan tempat.
Kondisi yang sudah demikian sudah bisa kita tarik kesimpulan sebagai indikator
tidak lama lagi gerakan kesenian murni warisan leluhur ini akan semakin kandas.
Tidak mustahil gerakannya akan menyempit pada tataran di tingkat rumah tangga
dan malah suatu ketika cuma digerakkan oleh satu orang yang harus kembang
kempis jogetan dan berganda main musiknya (malah sudah sering muncul di pasar
dengan kedudukan sebagai orang mbarang). Sepinya minat terhadap kesenian ini
tercermin pada mereka yang kemudian terpaksa melakukan pertunjukan dalam bentuk
persahabatan, bahkan yang lebih ngeri terpaksa dipagelarkan dengan ganti uang
recehan di jalanan. Mengapa? Dan siapa yang akan bertanggungjawab bila suatu
ketika justru orang lain atau bangsa lain yang akan mengklaim sebagai kesenian
miliknya dan memiliki hak paten? Bangsa yang sadar dan pintar tentu segera
mengambil dan berminat dengan ekspresi kesenian tradisi untuk dipatenkan,
mengapa? Bangsa yang demikian harus disadari bahwa kesenian mampu mengangkat
harkat dan citra bangsa, apalagi dalam esensinya orang berksenian itu mampu
memperagakan action yang bisa ditangkap sebagai alat pemersatu bangsa dan aset
yang luar biasa bagi pengembangan kepariwisataan ataupun khas simbul
kementherengannya (mutuistik bangsa). Tapi apa yang terjadi di tengah kesbukan
para pemimpin bangsa kita ini yang lebih mengedepankan adanya gerakan komersialitas
dibidang ekonomi katimbang kesenian.
Sadar apa tidak sadar
merebaknya kesenian negara lain yang lebih dianggap populis sudah berarti para
pempimpin bangsa sengaja telah memberi peluang untuk bangsa lain lewat ekspresi
kesenian sebagai simbul boleh beredarnya budaya manca untuk meracuni, menggeser
dan mengganti budaya yang menyangkut perilaku bangsa kita yang memiliki khas
sendiri.
Kalau saya memberikan
ilustrasi sebuah kemorat-maritan penataan adanya budaya lewat ekspresi kesenian
tradisi kita karena pada hakikatnya yang namanya ekspresi kesenian itu
mengandung nilai filosofis yang tak terkira sebagai harta kekayaan. Dalam
ekspresi orang berkesenian pada hakikatnya sedang mengembangkan sikap
pembentukan kepribadian yang nilainya sangat tinggi. Dalam berkesenian orang
tidak akan berbicara ras, basic, dll. Sangat terintegritasnya sikap perilaku
saling mengasihi dan mencintai dan sudah mengabaikan soal kekayaan, agama, dan
thehek bengek yang sering membuat dunia tidak tenteram sudah menjadi bumbu otomatis
pelaku kesenian. Adanya sikap asih, asah, asuh dan membela tradisi prakmatis
bangsa kita sendiri, mengapa masih diragukan? Tak perlak lagi karena setiap
mata pemegang kendali tradisi mulai berpikir gaya kapitalis yang segala
sesuatunya diukur untung dari segi finansial materi. Dalam setiap pembahasan
APBN amupun APBD sentuhan terhadap ilustrasi kesenian sangatlah minim sekali.
Di salah satu Kota Kecil yang pernah menjadi cikal bakal lahirnya Wayang Kulit
Kedu, Temanggung saja perhatian terhadap ekspresi kesenian mulai lumpuh.
Indikator pejabat mengenyampingkan ekspresi kesenian kalau tidak mau dikatakan
memarginalkan sangat terlihat sekali. Yang demikian tentu juga terjadi di
daerah-daerah kota kecil lainnya. Lihat saja dimana-mana mangkrong Gedung Olah
Raga, tapi jarang ada bahasa Gedung Kesenian. Untuk menambah platform gedung
Olah Raga yang sudah ada agar ditambah menjadi Gedung Olah Raga dan Kesenian
saja Pemerintah masih terkesan alot…Ada apa sebenarnya?
Beberapa alasan kesenian
ini semakin terpinggirkan atau dimarginalkan, diantaranya :
(1)
Peran pelaku kesenian yang kurang mampu berinovasi dan mampu
bertahan menjadikan seni tradisi sebagai wahana budaya yang harus tetap
dilestarikan. Adanya kurang kesadaran meletakkan seni sebagai bentuk mempertajam
tatanan sosial yang mestinya mengedepankan idialisme berkesiannya dan bukannya
mencari populeritas semata yang parameternya adalah mencari keuntungan yang
bersifat material. Itulah mengapa, seorang seniman seperti Sitok Srengenge
pernah mengatakan : Seniman itu ada dua. Satu boleh dibilang seniman tulen, dan
satunya lebih dikenal sbagai pelacur kesenian!” Idialisme mestinya harus
dijadikan senjata tempur sebagai seniman untuk menghalau dan melawan budaya
yang tidak pas dengan kepribadian bangsa.
(2)
Peran masyarakat yang mulai cenderung memilih kesenian yang lebih berbau
elektrik dan murah ditampilkan. Ukurannya tetap saja pada pengertian materi dan
menganggap kesenian sekedar berhenti pada pengertian ‘hiburan’.
(3)
Peran lembaga Pemerintah yang kurang kompeten menangani. Banyak para
pejabat yang disuruh menangani kesenian tidak pas dengan basic pengalaman
empiricnya, baik yang didukung secara akedemis maupun pengalaman lapangan.
Tidak munculnya ‘ghiroh’ menjadikan gerak atau tidaknya sebuah action berkesenian
tergantung anggaran yang disediakan. Sekali lagim di satu sisi APBN-APBD tak
pernah serius bicara masalah ini. Ada perbandingan yang sangat mencolok
anggaran pembinaan kesenian dan olah raga atau yang lainnya dimana sangat
terlihat anggaran ini selalu dimarginalkan. Inovasi sebagai terobosan saja
tidak serius dilakukan. Kalau ada gerakan bulan dana PMI bahkan Olah Raga tertentu, kesenian
jangan berharap dapat perhatian seperti ini. Banyak di daerah muncul bangunan
GEDUNG OLAH RAGA, namun jarang ada yang membikin GEDUNG KESENIAN. Kalau toh
anggarannya dipasung, untuk merubah image agar setiap Gedung Olah Raga di
daerah ditambah label dengan Gedung Olah Raga dan Kesenian, Pemerintah tetap
alot dan enggan menanggapi. Urusan kesenian saja cuma includ di Dinas
Pariwisata yang note bene juga lebih banyak bicara untung rugi karena dikejar
target dari sisi Pendapatan Daerah. Idialisme berkesenian ala seni tradisional
juga dimatikan atau sengaja hendak dibumi hanguskan oleh Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan. Jarang pada pelajaran sekolah dibakuan kegiatan ekstra kurikuler
dengan pelajaran mengolah kesenian tradisi. Adanya mulai dari TK sudah dipacu
Drum-Band, di Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi disulut agar siswa mampu
mandiri dalam tanda kutip ketrampilan berproduktif membangun
ekonomi. Masih terus bicara materi. Ini sangat berbeda jauh di jaman awal
kemerdekaan, dimana pertunjukan kesenian tradisional meraja lela dimana-mana.
Kalau Pemerintah serius menggarap kesenian tentu saja bisa dilakukan protek dan
perlindungan terhadap kesenian tradisi, tapi memang Wakil-Wakil Rakyat kita
jarang yang awalnya dari Pelaku atau pecinta Kesenian Tradisional.
(4)
Adanya dogma terselubung dari budaya manca negara yang terus
menonjok-nonjok memerangi kesenian sampai ada anggapan bahwa kesenian
tradisional bikin orang lemah dan ngatuk saja sehingga tak perlu diteruskan.
Lihat saja tayangan media televisi dan media cetak laiinya. Sponsornya pada
mundur bila acara yang dipertotonkan kesenian tradisional. Indosiar dulu pernah
melakukan program ini tapi akhirnya toh tidak kuat menghadapi arus pengguna dan
pemirsanya yang sebagian besar tidak setuju. Bila sudah demikian, jangan
salahkan kalau kemudian anak-anak sekolah lebih suka main band dengan lagu
kebarat-baratan walau syairnya tidak pernah mampu diterjemahkan sendiri
olehnya. Sudah ada image bahwa pelajar mulai dari SD sampai perguruan tinggi,
kalau tidak bisa ngefans lagu-lagu Amerikanan nggak ngetrend lagi. Jangan
salahkan kalau kemudian para pelajar yang sudah tercekok kemudian bergaya free
dan menganggap remeh adanya unggah-ungguh.
Sungguh malang nasib
kesenian tradisional nantinya. Kalau toh sekarang masih ada yang mampu bisa
bertahan, kita harus angkat tangan dan beri hormat. Tapi sekali lagi,……semua
saja harus mulai berinteraksi untuk memperhatikan nasib kesenian
tradisional kita. Kuda lumping jangan cuma didominasi oleh mereka yang
aktifitasnya sebagai Tukang Becak, Kuli bangunan atau buruh kasar, dan orang
orang kelas bawah. Pelajar dan Mahasiswa harus bergerak dan mulai mengemas
kesenian ini dan menonjol sebagai penggagas, pelaku, dan sebagainya untuk
menciptakan image bahwa kesenian tradisional jauh lebih hebat dari kesenian
modern. Kita semua harus tanggap mengapa Malaysia mengklaim dan mematenken karya
seni kebanggan bangsa kita? Mengapa baru kemudian kita ramai ramai ganti
menggugat Malaysia agar menghormati karya kita? Sadar nggak, bahwa semua itu bisa terjadi
karena Pemerintah kita ini sangat lalai menghormati karya bangsa sendiri.
Jangan terjadi lagi yang demikian. Sekaranglah saatnya seluruh elemen bangsa
kita ini bergerak menyelematkan dan melestarikan kesenian tradisi kita. Kapan?
Oleh Mas Par ARS seniman asal
Temanggung. Tinggal di Temanggung. Mantan Anggota DPRD Temanggung
2004-2009
Sumber:http://sosbud.kompasiana.com/2010/05/02/fenomena-kesenian-tradisional-yang-terpinggirkan-131234.html
Sumber:http://sosbud.kompasiana.com/2010/05/02/fenomena-kesenian-tradisional-yang-terpinggirkan-131234.html
“…Koreografer EKO Supriyanto : TARIAN Bisa Jadi MEDIA Pemersatu BANGSA…”
“…NRMnews - JAKARTA, Nama Koreografer Eko Supriyanto melejit ketika ia direkrut sebagai salah satu penari utama dalam tur dunia Madonna berjudul ” Drowned World ” pada tahun 2001.
Namun, Bakatnya dalam olah gerak telah ditempa sejak usia dini, saat Ia mempelajari tarian keraton Jawa serta Pencak Silat dari kakeknya di Magelang, Jawa Tengah.
Kini, Berbagai hasil karya Pria kelahiran Astambul, Kalimantan Selatan, 26 November 1970 ini, telah dipertontonkan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, Amerika Serikat, Asia dan Eropa.
Tidak terpikir sebelumnya di benak Eko bahwa ia akan memilih seni sebagai jalan hidupnya, “ Mau-nya sih jadi sekretaris atau pegawai bank karena saya lulusan SMEA negeri Magelang. Tapi ternyata tari membawa saya pada ruang dimensi yang Luar Biasa..”
“..Yang saya rasakan saat saya menari adalah kejujuran tubuh saya mengekspresikan energi untuk kemudian mentransfernya pada penonton”, ucap Eko bersungguh-sungguh. Hal tersebut kemudian membuat Eko semakin meyakini ia dapat menghidupi keluarga dan masa depannya melalui tari.
Seni tari tidak hanya memberinya akses pada ruang penjelajahan kultural, tetapi juga link dan persahabatan dengan budaya lain. Karir yang dijalani sebagai seniman kontemporer menuntutnya untuk selalu mencari sumber inspirasi kreatif dalam menciptakan tata gerak tari. Bagi Eko, inspirasinya tidak akan pernah habis, “ Bahan-bahan tarian tradisional kita merupakan sumber inspirasi yang sangat tidak akan pernah habis untuk digali dan dikembangkan”.
“..Inspirasi saya dapatkan melalui perjalanan, melihat kondisi dan keadaan, kemudian dicitrakan pada tradisi budaya saya, tradisi budaya yang lain, mempelajarinya lagi dan kemudian menafsirkannya ulang..”, tuturnya.
”..Berbagai jenis musik juga menjadi inspirasi yang sangat kuat di 8 tahun terakhir. Sardono W. Kusumo, Bapak Sal Murgiyanto,Mas Pamardi dan guru-guru saya yang lain, serta teman kerja/kolaborator juga menjadi panutan dalam mengembangkan kemampuan koreografi saya.”
Alhasil, Eko pun diberikan kepercayaan sebagai konsultan tari untuk tur Los Angeles dan seluruh Amerika Serikat dari pertunjukan Broadway “ The Lion King ”, menata tari dan menjadi penari dalam berbagai karya besutan Peter Sellars, Opera John Adams, Berlin Philharmonic, Tokyo Symphony Orchestra, juga di Lincoln Centre, New York.
Eko juga menjadi aktor, penari dan penata tari di film “Opera Jawa” (2006) dan The Iron Bed (2008) yang disutradarai oleh Garin Nugroho. Kekhasan bahasa gerak yang ditampilkan oleh pendiri sekaligus Pengarah Artistik Solo Dance Studio di Surakarta, Indonesia sejak tahun 1996 ini merupakan eksplorasi baru dari berbagai unsur dengan disiplin serta ekspresi animalistik dan teknik tari yang tinggi untuk penari penari di setiap karyanya, sehingga “ Semua orang mendapatkan ruang untuk mengintepretasikan dan menafsirkan makna gerakan tersebut ”
Menanggapi fenomena maraknya budaya tarian “ modern ” yang mewabah dengan cepat di kalangan anak muda Indonesia, entah itu hip-hop, R&B, break dance, latin modern, j-pop, ataupun k-pop, Eko berpendapat, “ Boleh saja melirik dan tertarik dengan budaya orang lain, tarian orang lain, tapi jangan jadi FOLOWER.
Jangan jadi pengikut yang hanya ikut-ikutan trend. Boleh untuk dipelajari sebagai kekayaan vokabuler dan kepiawaian tubuh sebagai penari, malah wajib hukumnya. Tapi untuk ekspresi pribadi dalam pentas atau berkarya buatlah orang-orang asing itu menjadi follower anda ”
Ia pun sangat yakin akan potensi besar Seni Tari Indonesia di level Nasional maupun Global. “ Harusnya Tarian sangat bisa menjadi sumber pemersatu bangsa ini, karena sepengalaman saya tidak ada di belahan dunia manapun yang memiliki kekayaan dan keanekaragaman seni dan budaya seperti Bangsa yang indah ini.
Disaat hukum jadi semakin terpuruk, ekonomi juga menekuk, politik membusuk, hanya kesenian dan kebudayaan yang dapat menjadi wakil bangsa ini dalam menunjukkan kekuatan dan kebersatuan Indonesia. Dengan itu harusnya Seniman Indonesia dapat berkiprah di dunia internasional dengan kejujuran akan kearifan dan kekayaan lokal kita untuk menyikapi dunia global ”, tandas Eko, saat di wawancarai langsung oleh redaksi NRMnews setelah pementasannya baru – baru ini di Jakarta.
Sebagai proyek terbarunya, ia tengah menggarap “Para-Human”, dengan Amrita Performing Arts di Phnom Penh Kamboja untuk pertunjukan di Singapore National Museum pada bulan Juli 2012. Ia juga akan menari untuk Arco Renz’s Caravan Production dalam tur Eropa mereka dari bulan September sampai November 2012.
( Oleh : Red NRMnews / Dwi.Pravita.G )
sumber: http://nrmnews.com/2012/04/17/koreografer-eko-supriyanto-tarian-dapat-menjadi-sumber-pemersatu-bangsa/
sumber: http://nrmnews.com/2012/04/17/koreografer-eko-supriyanto-tarian-dapat-menjadi-sumber-pemersatu-bangsa/
Seni Budaya Pemersatu Bangsa
etnik/doli/2011
SEJARAH bagi sebagian orang membosankan. Namun untuk Ali Anwar, sejarah adalah mainan yang mengasyikkan. Ia menelusurinya ke ceruk terdalam, mengupas lapisan masa lalu dengan penuh kesabaran. Begitulah, Ali sudah kepincut cerita sejarah sejak remaja. Cerita tentang Bekasi tempo dulu yang dituturkan oleh orang-orang tua di kampungnya membangunkan imajinasi Ali. Ia hafal mulai dari kisah kejayaan Kerajaan Tarumanegara di masa Raja Purnawarman hingga heroisme perjuangan melawan kompeni Belanda. Indonesia adalah sebuah Negara yang terkenal dengan keanekaragaman. Baik keanekaragaman Agama, Budaya, Ras, Bahasa, Latar Belakang, Sosial, Pendidikan, Seni, dan lain-lain. Pada tulisan saya kali ini, saya akan membahas tentang keanekaragaman Budaya di Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.
Kebudayaan nasional dalam pandangan Ki Hajar Dewantara adalah “puncak-puncak dari kebudayaan daerah”. Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan makin dimantapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan daripada kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional, serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat dilihat dari peryataannya: “yang khas dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk mewakili identitas bersama.Nunus Supriadi, “Kebudayaan Daerah dan Kebudayaan Nasional”
Pernyataan yang tertera pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelasan pada pasal 32 dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional tidak dijelaskan secara gamblang.
Sebelum di amandemen, UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagi puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia, sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan angsa yang sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Banga Indonesia yang sudah sadar dan menglami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional.
Contoh Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, kebudayaan lokal, maupun kebudayaan asal asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kebudayaan Nasional adalah kebudayaan yang diakui sebagai Indentitas Nasional. Macam-macam kebudayan Indonesia antara lain :
1. Rumah adat
2. Tari tradisional
3. Lagu Daerah
4. Makanan
5. Alat musik tradisional
6. Pakaian tradisional
Artikel ini bermuatan tentang deskripsi seni budaya Indonesia yang beranekaragam, tentang budaya Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. (reanx)
Sumber http://enamjurnalistik.blogspot.com/2011/06/seni-budaya-pemersatu-bangsa.html
Artikel ini bermuatan tentang deskripsi seni budaya Indonesia yang beranekaragam, tentang budaya Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa. (reanx)
Sumber http://enamjurnalistik.blogspot.com/2011/06/seni-budaya-pemersatu-bangsa.html
Langganan:
Postingan (Atom)