Bicara soal kesenian
tradisi yang lebih populis namun tetap dianggap kurang populis dibandingkan
dengan dunia seni lainnya yang lebih terkonsumtif di kalangan pelajar,
mahasiswa, pejabat, tokoh-tokoh sentral kehidupannya seperti Jarang Kepang,
Kubro, Wulan Sunu, Gatoloco, Topengan, Kethoprak, Ndolalak, Reog, Warokan, dan
segudang jenis lainnya menjadikan lambat laun kesenian ini tergeser dan hanya
mampu bergerak di tingkatan komunitas micro pedesaan.
Inipun masih mending
ketika masih bisa tersikapi dan disikapi, namun realitasnya di tataran tingkat
komunitas pedesaan saja kesenian tradisional masih sering dipandang sebagai
bentuk hiburan yang konservatif dan tak layak tayang. Mengapa?
Apa yang saya katakan
ini bukan semata tidak beralasan. Lihat saja di kanan kiri kita manakala ada
orang punya hajat mantenan, supitan, ponggahan, peringatan tujuh belasan, dll -
lebih praktis yang ditampilkan adalah hiburan organ tunggal yang sekali pancal
bisa memainkan apa saja. Meh campursarinan, dangdutan, ngepop, ngerock, bahkan
tidak mustahil nanti jathilan nggak perlu pakai sperangkat musik gamelan.
Alasan mereka sederhana saja, sekedar untuk effisien anggaran dan tempat.
Kondisi yang sudah demikian sudah bisa kita tarik kesimpulan sebagai indikator
tidak lama lagi gerakan kesenian murni warisan leluhur ini akan semakin kandas.
Tidak mustahil gerakannya akan menyempit pada tataran di tingkat rumah tangga
dan malah suatu ketika cuma digerakkan oleh satu orang yang harus kembang
kempis jogetan dan berganda main musiknya (malah sudah sering muncul di pasar
dengan kedudukan sebagai orang mbarang). Sepinya minat terhadap kesenian ini
tercermin pada mereka yang kemudian terpaksa melakukan pertunjukan dalam bentuk
persahabatan, bahkan yang lebih ngeri terpaksa dipagelarkan dengan ganti uang
recehan di jalanan. Mengapa? Dan siapa yang akan bertanggungjawab bila suatu
ketika justru orang lain atau bangsa lain yang akan mengklaim sebagai kesenian
miliknya dan memiliki hak paten? Bangsa yang sadar dan pintar tentu segera
mengambil dan berminat dengan ekspresi kesenian tradisi untuk dipatenkan,
mengapa? Bangsa yang demikian harus disadari bahwa kesenian mampu mengangkat
harkat dan citra bangsa, apalagi dalam esensinya orang berksenian itu mampu
memperagakan action yang bisa ditangkap sebagai alat pemersatu bangsa dan aset
yang luar biasa bagi pengembangan kepariwisataan ataupun khas simbul
kementherengannya (mutuistik bangsa). Tapi apa yang terjadi di tengah kesbukan
para pemimpin bangsa kita ini yang lebih mengedepankan adanya gerakan komersialitas
dibidang ekonomi katimbang kesenian.
Sadar apa tidak sadar
merebaknya kesenian negara lain yang lebih dianggap populis sudah berarti para
pempimpin bangsa sengaja telah memberi peluang untuk bangsa lain lewat ekspresi
kesenian sebagai simbul boleh beredarnya budaya manca untuk meracuni, menggeser
dan mengganti budaya yang menyangkut perilaku bangsa kita yang memiliki khas
sendiri.
Kalau saya memberikan
ilustrasi sebuah kemorat-maritan penataan adanya budaya lewat ekspresi kesenian
tradisi kita karena pada hakikatnya yang namanya ekspresi kesenian itu
mengandung nilai filosofis yang tak terkira sebagai harta kekayaan. Dalam
ekspresi orang berkesenian pada hakikatnya sedang mengembangkan sikap
pembentukan kepribadian yang nilainya sangat tinggi. Dalam berkesenian orang
tidak akan berbicara ras, basic, dll. Sangat terintegritasnya sikap perilaku
saling mengasihi dan mencintai dan sudah mengabaikan soal kekayaan, agama, dan
thehek bengek yang sering membuat dunia tidak tenteram sudah menjadi bumbu otomatis
pelaku kesenian. Adanya sikap asih, asah, asuh dan membela tradisi prakmatis
bangsa kita sendiri, mengapa masih diragukan? Tak perlak lagi karena setiap
mata pemegang kendali tradisi mulai berpikir gaya kapitalis yang segala
sesuatunya diukur untung dari segi finansial materi. Dalam setiap pembahasan
APBN amupun APBD sentuhan terhadap ilustrasi kesenian sangatlah minim sekali.
Di salah satu Kota Kecil yang pernah menjadi cikal bakal lahirnya Wayang Kulit
Kedu, Temanggung saja perhatian terhadap ekspresi kesenian mulai lumpuh.
Indikator pejabat mengenyampingkan ekspresi kesenian kalau tidak mau dikatakan
memarginalkan sangat terlihat sekali. Yang demikian tentu juga terjadi di
daerah-daerah kota kecil lainnya. Lihat saja dimana-mana mangkrong Gedung Olah
Raga, tapi jarang ada bahasa Gedung Kesenian. Untuk menambah platform gedung
Olah Raga yang sudah ada agar ditambah menjadi Gedung Olah Raga dan Kesenian
saja Pemerintah masih terkesan alot…Ada apa sebenarnya?
Beberapa alasan kesenian
ini semakin terpinggirkan atau dimarginalkan, diantaranya :
(1)
Peran pelaku kesenian yang kurang mampu berinovasi dan mampu
bertahan menjadikan seni tradisi sebagai wahana budaya yang harus tetap
dilestarikan. Adanya kurang kesadaran meletakkan seni sebagai bentuk mempertajam
tatanan sosial yang mestinya mengedepankan idialisme berkesiannya dan bukannya
mencari populeritas semata yang parameternya adalah mencari keuntungan yang
bersifat material. Itulah mengapa, seorang seniman seperti Sitok Srengenge
pernah mengatakan : Seniman itu ada dua. Satu boleh dibilang seniman tulen, dan
satunya lebih dikenal sbagai pelacur kesenian!” Idialisme mestinya harus
dijadikan senjata tempur sebagai seniman untuk menghalau dan melawan budaya
yang tidak pas dengan kepribadian bangsa.
(2)
Peran masyarakat yang mulai cenderung memilih kesenian yang lebih berbau
elektrik dan murah ditampilkan. Ukurannya tetap saja pada pengertian materi dan
menganggap kesenian sekedar berhenti pada pengertian ‘hiburan’.
(3)
Peran lembaga Pemerintah yang kurang kompeten menangani. Banyak para
pejabat yang disuruh menangani kesenian tidak pas dengan basic pengalaman
empiricnya, baik yang didukung secara akedemis maupun pengalaman lapangan.
Tidak munculnya ‘ghiroh’ menjadikan gerak atau tidaknya sebuah action berkesenian
tergantung anggaran yang disediakan. Sekali lagim di satu sisi APBN-APBD tak
pernah serius bicara masalah ini. Ada perbandingan yang sangat mencolok
anggaran pembinaan kesenian dan olah raga atau yang lainnya dimana sangat
terlihat anggaran ini selalu dimarginalkan. Inovasi sebagai terobosan saja
tidak serius dilakukan. Kalau ada gerakan bulan dana PMI bahkan Olah Raga tertentu, kesenian
jangan berharap dapat perhatian seperti ini. Banyak di daerah muncul bangunan
GEDUNG OLAH RAGA, namun jarang ada yang membikin GEDUNG KESENIAN. Kalau toh
anggarannya dipasung, untuk merubah image agar setiap Gedung Olah Raga di
daerah ditambah label dengan Gedung Olah Raga dan Kesenian, Pemerintah tetap
alot dan enggan menanggapi. Urusan kesenian saja cuma includ di Dinas
Pariwisata yang note bene juga lebih banyak bicara untung rugi karena dikejar
target dari sisi Pendapatan Daerah. Idialisme berkesenian ala seni tradisional
juga dimatikan atau sengaja hendak dibumi hanguskan oleh Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan. Jarang pada pelajaran sekolah dibakuan kegiatan ekstra kurikuler
dengan pelajaran mengolah kesenian tradisi. Adanya mulai dari TK sudah dipacu
Drum-Band, di Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi disulut agar siswa mampu
mandiri dalam tanda kutip ketrampilan berproduktif membangun
ekonomi. Masih terus bicara materi. Ini sangat berbeda jauh di jaman awal
kemerdekaan, dimana pertunjukan kesenian tradisional meraja lela dimana-mana.
Kalau Pemerintah serius menggarap kesenian tentu saja bisa dilakukan protek dan
perlindungan terhadap kesenian tradisi, tapi memang Wakil-Wakil Rakyat kita
jarang yang awalnya dari Pelaku atau pecinta Kesenian Tradisional.
(4)
Adanya dogma terselubung dari budaya manca negara yang terus
menonjok-nonjok memerangi kesenian sampai ada anggapan bahwa kesenian
tradisional bikin orang lemah dan ngatuk saja sehingga tak perlu diteruskan.
Lihat saja tayangan media televisi dan media cetak laiinya. Sponsornya pada
mundur bila acara yang dipertotonkan kesenian tradisional. Indosiar dulu pernah
melakukan program ini tapi akhirnya toh tidak kuat menghadapi arus pengguna dan
pemirsanya yang sebagian besar tidak setuju. Bila sudah demikian, jangan
salahkan kalau kemudian anak-anak sekolah lebih suka main band dengan lagu
kebarat-baratan walau syairnya tidak pernah mampu diterjemahkan sendiri
olehnya. Sudah ada image bahwa pelajar mulai dari SD sampai perguruan tinggi,
kalau tidak bisa ngefans lagu-lagu Amerikanan nggak ngetrend lagi. Jangan
salahkan kalau kemudian para pelajar yang sudah tercekok kemudian bergaya free
dan menganggap remeh adanya unggah-ungguh.
Sungguh malang nasib
kesenian tradisional nantinya. Kalau toh sekarang masih ada yang mampu bisa
bertahan, kita harus angkat tangan dan beri hormat. Tapi sekali lagi,……semua
saja harus mulai berinteraksi untuk memperhatikan nasib kesenian
tradisional kita. Kuda lumping jangan cuma didominasi oleh mereka yang
aktifitasnya sebagai Tukang Becak, Kuli bangunan atau buruh kasar, dan orang
orang kelas bawah. Pelajar dan Mahasiswa harus bergerak dan mulai mengemas
kesenian ini dan menonjol sebagai penggagas, pelaku, dan sebagainya untuk
menciptakan image bahwa kesenian tradisional jauh lebih hebat dari kesenian
modern. Kita semua harus tanggap mengapa Malaysia mengklaim dan mematenken karya
seni kebanggan bangsa kita? Mengapa baru kemudian kita ramai ramai ganti
menggugat Malaysia agar menghormati karya kita? Sadar nggak, bahwa semua itu bisa terjadi
karena Pemerintah kita ini sangat lalai menghormati karya bangsa sendiri.
Jangan terjadi lagi yang demikian. Sekaranglah saatnya seluruh elemen bangsa
kita ini bergerak menyelematkan dan melestarikan kesenian tradisi kita. Kapan?
Oleh Mas Par ARS seniman asal
Temanggung. Tinggal di Temanggung. Mantan Anggota DPRD Temanggung
2004-2009
Sumber:http://sosbud.kompasiana.com/2010/05/02/fenomena-kesenian-tradisional-yang-terpinggirkan-131234.html
Sumber:http://sosbud.kompasiana.com/2010/05/02/fenomena-kesenian-tradisional-yang-terpinggirkan-131234.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar